Berikut ini adalah Sosialisasi Dasar Hukum Peraturan yang Berlaku
Media Catur Prasetya News “Etika Jurnalistik & Siaran Beretika”
Etika Jurnalistik & Siaran Beretika
Moral dan etika pada hakekatnya merupakan prinsip dan nilai-nilai yang menurut keyakinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar dan yang salah yang mereka yakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah merupakan sistem dari prinsip-prinsip moral termasuk aturan-aturan.
Kees Bertens, dalam bukunya “ETIKA” menyatakan bahwa Etika berasal dari kata Yunani Ethos, yang artinya sama dengan kata Latin “Mores”, yaitu adat, kebiasaan, cara pikir. Maksudnya, Etika adalah tentang adat, kebiasaan, cara pikir yang berlaku untuk suatu kelompok manusia tertentu (suku bangsa, kelompok profesi, pelaku usaha dll) , pada suatu waktu tertentu. Begitu juga Moral. Jadi Media Catur Prasetya News tidak membedakan antara Etika dan Moral.
Sementara itu Media Catur Prasetya News mendefinisikan Etika sebagai Ilmu tentang adat, kebiasaan, cara pikir, moral, perilaku moral.
Walaupun begitu, beberapa literatur lain membedakan antara Moral dan Etika. Moral adalah sesuatu tentang baik-buruk pada tataran filosofis- normatif, seperti yang dibahas oleh Emanuel Kant dalam teori Deontologisnya. Contohnya moralitas bangsa.
Ketika moralitas bangsa makin merosot, akan disebut juga sebagai “Dekadensi Moral”, tidak pernah disebut sebagai “Dekadensi Etika”
Sebaliknya, Etika lebih terkait dengan aspek praxis-terapan dari moral, seperti yang dibahas oleh Aristoteles tentang pilihan jalan tengah sebagai keutamaan.
Sebagai contoh, seorang polisi yang terlalu tamak sehingga melakukan Pungli (tidak memilih jalan tengah), misalnya, disebut sebagai melanggar Kode Etik, bukan melanggar Kode Moral.
Sementara itu, jika kita pelajari definisi -definsi etika yang tersedia diliteratur, memang terdapat berbagai definisi.
Berikut ini Beberapa deskripsi dari Etika sebagai berikut:
1. Sebuah sistem tentang prinsip- prinsip moral: Ketika dari sebuah kebudayaan.
2. Tata aturan (the rules of conduct) yang diakui dan dihargai oleh sekumpulan pelaku manusia, atau kelompok tertentu atau budaya, seperti etika medis, etika agama tertentu dll.
3. Prinsip moral dari seseorang.
4. Cabang dari filsafat yang membahas tentang nilai -nlai yang terkait dengan kelakuan manusia dalam hubungannya dengan baik -buruk, atau benar-salah.
Deskripsi yang terakhir menggambarkan definisi Etika yang banyak digunakan, yaitu Etika, atau filsafat moral, adalah cabang filsafat yang membahas pertanyaan- pertanyaan tentang moralitas, yaitu konsep-konsep seperti baik dan buruk, benar dan salah, bernilai atau tidak berharga, berkeadilan.
Etika sering dicampurkan dengan hati nurani, kata hati atau suara hati, sehingga sering muncul ungkapan agar pejabat, polisi, jaksa atau hakim mendengarkan hati nuraninya agar bisa melaksanakan tugasnya dengan adil.
Alasan inilah yang digunakan oleh DPR untuk mendesak Presiden meninjau kembali pemeriksaan Polisi atas diri pimpinan KPK, Bibit Waluyo dan Chandra Hamzah, sehingga akhirnya Presiden menunjuk tim 8, dan atas saran tim 8, kasus ini tidak dilanjutkan.
Namun belakangan, sehubungan dengan adanya ketidak sesuain pendapat antara KPK dan DPR, khususnya yang menyangkut Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah, maka kasus ini dituntut untuk dibuka lagi.
Jadi Hati Nurani tidak selalu sejalan dengan hukum. Hati Nurani bersifat subyektif, intuitif, walaupun tetap ada logika yang mendasari, sedangkan hukum lebih obyektif, terukur,walaupun interpretasinya tetap bisa subyektif.
Tetapi hukum juga tidak selalu sejalan dengan Etika. Walaupun hukum dikembangkan berdasarakan nilai-nilai Etika atau moral pada zamannya.
Namun dalam kenyataannya tidak sedikit hukum yang bertentangan dengan Etika, termasuk HAM (Hak Asasi Manusia).
Undang-undang tentang Tanam Paksa di zaman Hindia Belanda, Undang-undang Segregasi (Afrika Selatan sebelum Nelson Mandela), Perda Syariah (tentang busana wanita) dan UU Perkawinan (yang melarang pernikahan antar agama), adalah beberpa contoh dari produk legal yang tidak sesuai dengan HAM.
Etika Jurnalistik & Jurnalisme Televisi
Berbicara soal etika terapan, tidak terlepas dari banyaknya bidang kerja dalam ranah publik, contoh Etika Profesi Kepolisian, Etika Profesi Jurnalistik, dan Etika Profesi Hakim. Karena etika merupakan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan kelompok tertentu, maka dalam konteks jurnalistik, etika adalah nilai-nilai moral yang menjadi pegangan para wartawan dalam melakukan aktivitasnya sebagai wartawan.
Tentu saja yang membuat etika wartawan adalah kelompok wartawan masing-masing. Dalam hal dikenal dengan Kode Etik (code of conduct).
Kode etik inilah yang menjadi pegangan bagi wartawan dalam melaksanakan aktivitasnya sebagai wartawan.
Berbeda dengan hukum, sanksi terhadap pelanggaran kode etika juga bersifat moral yang diberikan berdasarkan kesepakatan masing-masing anggota kelompok.
Sedangkan sanksi hukum diberikan oleh negara melalui aparat yang ditunjuk.
Sebelumnya ada baiknya kita mengetahui apa pengertian Jurnalisme secara umum dan jurnalisme televisi secara khusus.
Secara sederhana, pengertian jurnalisme adalah kegiatan menginvestigasi dan melaporkan peristiwa, isu-isu dan tren kepada khalayak luas. Pengertian lain, menurut Onong Uchayana Efendi, jurnalisme atau jurnalistik adalah teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Sementara Roland E.Woseley dalam bukunya “Understanding Magazines” Jurnalistik adalah pengumpulkan, penulisan, penafsiran, pemerosesan dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan umum secara sistematik dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majlah dan disiarkan stasiun siaran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. dikemukakan, berita adalah cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Dari sekian banyak variasi dalam jurnalisme, yang paling ideal adalah memberikan informasi kepada masyarakat.
Sementara itu, orang yang bergerak dalam bidang jurnalistik disebut dengan jurnalis. Eric C Hepwood, mengemukakan berita adalah laporan pertama dari kejadian yang penting sehingga daat menarik perhatian umum.
Definisi ini mengungkap tiga unsur berita, yakni aktual, penting dan menarik. Dari pengertian tersebut, maka jurnalisme televisi bisa dikatakan sebagai laporan tentang fakta peristiwa yang memiliki nilai penting, menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan secara luas melalu media masa periodik.

Pekerjaan seorang jurnalis televisi juga tidak terlepas dari Etika. Sehingga kerja-kerja jurnalis harus berlandaskan Etika. Sepeti yang terdapat dalam kode etik jurnalistik. Dalam Kode Etik Jurnalis Televisi. Pasal 1 dijelaskan bahwa Kode Etik Jurnalis Televisi adalah penuntun perilaku jurnalis televisi dalam melaksanakan profesinya.
Selanjutnya ini dalam Pasal 2, Jurnalis televisi Indonesia adalah pribadi yang mandiri dan bebas dari benturan kepentingan, baik yang nyata maupun terselubung.[14] Sehingga kerja seorang jurnalis televisi sangat erat dan Berbicara Etika seperti juga Etika dalam kepolisian, pekerja pers dalam hal ini jurnalis televisi juga dihadapkan dengan persoauga harus berlandaskan Etika yang ada.
Sebagai ilustrasi, seorang jurnalis televisi harus menjalankan azas keberimbangan dalam menulis dan menyiarkan suatu peristiwa.
Kasus Mesuji Lampung yang belakangan menjadi isu nasional, dari sisi seorang jurnalis harus diberitakan karena merupakan fakta dan menjadi ranah publik untuk mengetahui persitiwa yang terjadi. Terkait dengan Etika, jelas seorang jurnalis harus memberitakannya dengan asas keberimbangan tidak berat sebelah dan juga tidak memihak salah satu kelompok.
Jika kepolisian dalam persoalan Etika dikaitkan dengan bagaimana cara penanganan keamanan yang mengacu pada Undang-undang nomor 2 tahun 2002, maka jurnalis televisi atau wartawan tv juga tidak terlepas pada persoalan Etika, yang diatur dalam Kode Etik Jurnalis Televisi. Terlebih lagi dalam melakukan kerja-kerja jurnalistiknya di daerah konflik.
Sebut saja Poso, Ambon, Aceh dan juga dalam meliput isu-isu yang terkait terorisme, hukum dan SARA.
Siaran Beretika?
Belakangan ini tayangan televisi baik itu berita dan non berita menjadi sorotan berbagai pihak. Bukan bermaksud menjelekkan satu lembaga penyiaran, namun apa yang terjadi pada program “Super Jail” yang tayang di Trans7 adalah salah satu contoh tayangan yang dianggap melanggar Etika Penyiaran.
Pada tanggal 18 Juni 2012 mulai pukul 15.30 WIB menayangkan adegan yang tidak pantas, yaitu adegan mengerjai pasien tidak mampu yang sedang dirawat di rumah sakit. Dalam adegan tersebut, seorang talent yang menyamar sebaga petugas administrasi keuangan rumah sakit memaksa pasien dan keluarga yang tidak mampu agar segera membayar biaya rumah sakit pada saat itu juga.
Walaupun keluarga pasien sudah menjelaskan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, talent tetap memaksa keluarga pasien untuk menyerahkan segala harta yang dimiliki sebagai jaminan pembayaran biaya rumah sakit tersebut.
KPI Pusat menilai penayangan tersebut sangat berlebihan dan tidak sensitif terhadap keanekaragaman khalayak berdasarkan latar belakang ekonomi.
Program tidak memilki empati terhadap kondisi pasien dan keluarganya yang sedang menghadapi musibah.
Untuk itu KPI Pusat memberikan peringatan tertulis agar segera melakukan evaluasi internal pada program agar mempehatikan norma kesopanan, lebih peka terhadap orang yang sedang mendapat musibah, dan tidak mempermainkan orang yang berlatar belakang ekonomi kurang mampu.
Program lain yang kemudian juga dinyatakan melanggar Etika adalah “Pesbuker” yang tayang di Antv. Program acara “Pesbukers”yang tayang di ANTV mendapatkan teguran tertulis kedua dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Teguran diberikan karena ditemukan pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) pada tayangan 12 Januari 2012 pukul 18.04 WIB.
Pelanggaran terjadi pada adegan gerakan tubuh atau tarian salah satu seorang pengisi acara (Nikita Mirzani) yang dinilai dapat dapat membangkitkan gairah seksual. Adegan tersebut ditampilkan juga eksplotasi tubuh bagian paha.
Pelanggaran atas penayangan adegan yang dimaksud telah melanggar P3 Pasal 8, Pasal 10, Pasal 13, dan Pasal 17 ayat (1) serta SPS Pasal 9, Pasal 13 ayat (1), Pasal 17 huruf a dan c, dan Pasal 39 ayat (5) huruf a. Sebelumnya, pada 18 Agustus 2011 KPI juga telah memberikan teguran pertama pada program ini.
Sementara diranah pemberitaan. Beberapa materi tayangan berita juga mendapatkan teguran dari KPI. Ambil saja contoh kasus anak kecil yang merokok.
Berita tersebut bahkan oleh salah satu lembaga penyiaran swasta nasional secara gamblang ditayangkan apa adannya tanpa adanya beberapa ketentuan etika yang harus dipakai sesuai degan P3-SPS dan kode etik jurnalistik.
Materi lain adalah penayangan berita tentang kekerasan seksual yang menimpa anak dibawah umur, yang belakangan menjadi sorotan publik.
Pemberitaan-pemberitaan yang ada di televisi terkait dengan terduga teroris, kasus salah tangkap, kasus asusila yang dilakukan anggota polri dan juga perlakukan tidak etis lainnya menjadi sebuah komoditas dan tontonan yang bisa mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap institusi penegakan hukum itu.
Dalam konteks tersebut peran media dalam hal ini televisi menjadi penting. Bagi publik, penting dalam menginformasikan fakta yang ada dan bagi seorang wartawan tv penting untuk mengyuguhkan pemberitaan tersebut sesuai dengan P3-SPS dan Kode Etik Jurnalistik yang ada.
Dalam konteks etika, jurnalis televisi harus berpegangan kepada Kode Etik Wartawan Indonesia dan juga P3-SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran, dan Standar Program Siaran) yang dikeluarkan sebuah lembaga independen yang namanya Komisi Penyiaran Indonesia.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS.
KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002.
Justru pertanyaan yang timbul saat ini, apakah sebagai jurnalis yang bekerja dala sebuah lembaga penyiaran, kita sudah enerapkan etika dalam bersiaran seperti yang diinginkan oleh KPI, sebagai sebuah lembaga yang mengatur persoalan terkait “Etika Penyiaran” Atau mungkin yang timbul adalah suatu anggapan bahwa KPI tidak ubahnya seperti Departemen Penerangan pada era orde baru lalu?
Pertanyaan itu memang harus dijawab. Paling tidak bagi seorang Jurnalis televisi yang bekerja dalam sebuah lembaga penyiaran, apa yang akan disampaikan ke publik haruslah berdasarkan Etika Jurnalistik dan juga ketentuan yang tertera dalam P3-SPS yang smau tidak mau harus diikuti.
Jangan sampai akhirnya semua itu, akan merusak ruang kebebasan sipil politik dan mengancam bangunan demokrasi yang saat ini sedang berproses
Penulis: Guslian Ade Chandra
Pimpinan Redaksi Media Catur Prasetya News


Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.